Selasa, 03 September 2019

Pengorbanan Karna

Dialog imajiner yang terjadi antara Basudewa Krisna dan Prabu Karna sebelum berlangsung perang Baratayudha :

Krisna ; Saya minta dinda kembali ke Pandawa, berkumpul kembali dengan saudara saudara Pandawa lainnya,

Karna ; Tidak kanda ! ini sudah pilihanku, .. toh tidak akan ada bedanya, jika kelak aku mati di perang Baratayudha, Pandawa tetap lima, begitu juga jika Harjuna yang mati, Pandawa tetap lima.

Krisna ; Kenapa harus saling membunuh, padahal kamu tahu Pandawa itu adalah saudara saudaramu sendiri ? Kamu, Putadewa, Bima, dan Harjuna adalah putra-putra Kunti !,

Karna ; Ini bukan persoalan bunuh-membunuh, ini persoalan tugas suci yang harus diemban oleh setiap Ksatria untuk membuktikan bahwa pilihannya adalah benar,

Krisna ; Bagaimana engkau bisa mengatakan pilihanmu adalah benar, sementara engkau membela angkara murka?

Karna ;  Jangan cuma melihat kulit, kakanda ..

Krisna ;  Maksudmu ?

Karna ; Kanda tahu ? bahwa setiap orang memiliki cara untuk menyampaikan kebenaran, Pandhita menyampaikan kebenaran melalui nasihat nasihatnya, sedang Ksatria seperti saya yaa lewat perang, aaah, kakanda Krisna pasti sudah tahu maksudku,

Krisna terdiam, sebagai titisan Dewa Wisnu, Kresna memang diberi kelebihan mengetahui sesuatu yang akan terjadi .....

Karna ; Begini, kakanda, berkali-kali para Pandhita menasihati Raja Hastina, Duryudana, untuk berbuat baik, tapi tetap saja ia masih bersifat angkara murka, maka satu-satunya jalan bagiku adalah mendorong dirinya dan Kurawa untuk berani beperang melawan Pandawa dalam Baratayudha.

Krisna ; Kenapa harus melalui peperangan !??

Karna ; Karena hanya melalui peperanganlah angkara murka Prabu Duryudana akan punah sampai ke akar-akarnya !,

Betapa Karna siap untuk menjadi tumbal bagi kejayaan saudara saudaranya keluarga Pandawa, di satu sisi ia ingin membasmi sifat angkara murka Kurawa, disisi lainnya ia siap mati oleh panah adiknya sendiri Harjuna, padahal jika ia mau, tidak ada jenis pusaka apapun yang sanggup menghalau dan menandingi kesaktian senjata Kunta Wijaya Danu milik Sang Prabu Karna !,

Sumber: Ra Hyang
https://facebook.com/story.php?story_fbid=2360030924240231&id=100007000398328

Sabtu, 22 November 2014

Tekor Bubuh

Hari ini adalah hari Saniscara Kliwon Wariga, atau yang masyarakat Bali kenal dengan nama Tumpek Bubuh/Tumpek Wariga. Ada satu budaya dalam masyarakat Hindu Bali, bahwa pada hari ini biasanya masyarakat Hindu di Bali melakukan upacara yg ditujukan pada tumbuh-tumbuhan sebagai rasa syukur atas apa yang telah diberikan oleh tumbuh-tumbuhan itu pada manusia. Dalam hal ini pemujaan ditujukan pada Dewa Sangkara selaku penguasa tumbuh-tumbuhan. Adapun salah satu sarana upacara yg digunakan adalah menggunakan sarana bubur/bubuh sumsum, jaja kukus serta jajan bali lainnya seperti giling-giling dan sebagainya. Setelah melakukan prosesi upacara biasanya masyarakat Hindu di Bali menyantap 'lungsuran' atau sisa 'bubuh sumsum' tersebut. Bagi masyarakat modern ada yang menggunakan piring untuk menyantapnya, tetapi bagi masyarakat tradisional biasanya menggunakan daun pisang yang diolah sedemikian rupa menjadi sesuatu yg lazim disebut 'tekor'. Sejenak bila perhatikan cara pembuatan tekor bubuh itu mengisyarakat suatu makna filosofi dalam hidup ini.

'Tekor' terbuat dari lembaran daun pisang, lembaran yang menyiratkan kita selalu memulai dengan lembaran baru. Daun pisang, daun yang sangat murah dan dapat diperoleh, seperti niat baik kita yang harus dengan murah dan mudah diproduksi dalam hati kita. Lembaran daun pisang itu kemudian dibentuk, ini seperti mengingatkan bahwa niat baik kita juga harus dengan mudah dibentuk dan disesuaikan dengan situasi. Proses ketiga yaitu lembaran yang sudah dibentuk itu ditusuk dan dikunci dengan ‘semat’ atau lidi yang tajam, ini menggambarkan bahwa niat baik kita harus dimantapkan dengan usaha keras, pemikiran yang tajam, seksama, hati-hati dan tegas. Kemudian 'tekor' itu dituangkan bubur sumsum yang panas dengan gulanya yang panas pula. Namun 'tekor' itu tahan panas, ini mengingatkan bahwa kita juga harus tahan terhadap segala ganjalan, halangan, dan kesulitan yang kita hadapi. Untuk menikmati bubur itu kita memerlukan sendok, untuk itulah kita menyobek daun 'tekor' itu dan dilipatkan untuk menyendok makanan tersebut, ini mengingatkan bahwa niat, usaha, masih belum cukup untuk mewujudkan semuanya, butuh pengorbanan dari diri kita untuk mewujudkannya. Posisi telapak tangan dalam memegang 'tekor' telapak tangan kita harus melindungi 'tekor' agar tidak tumpah, seperti sikap kita dalam menghadapi permasalahan dengan ikhlas. Bentuk 'tekor' yang terbuka pada satu sisinya dan tertutup pada sisi lainnya mengingatkan kita untuk selalu terbuka untuk segala ilmu dan ditutup untuk segala pengaruh buruk. 'Tekor' juga langsung dibuang oleh pemakannya ketika sudah selesai, dan ini memberikan pelajaran bagi kita siapkah kita untuk dilupakan ketika semuanya telah selesai.

Seperti itulah 'tekor bubuh' memberikan pelajaran pada pagi yang cerah ini. Selamat menikmati bubur sumsum. (˘ڡ˘)

Jumat, 19 Juli 2013

Menjaga Ketajaman Diri


Mengasah Kapak

Di suatu waktu, adalah seorang pemotong kayu yang sangat kuat. Dia melamar sebuah pekerjaan ke seorang pedagang kayu, dan dia mendapatkannya. Gaji dan kondisi kerja yang diterimanya sangat bagus. Karenanya sang pemotong kayu memutuskan untuk bekerja sebaik mungkin. Sang majikan memberinya sebuah kapak dan menunjukkan area kerjanya. Hari pertama sang pemotong kayu berhasil merobohkan 18 batang pohon. Sang majikan sangat terkesan dan berkata, “Selamat, kerjakanlah seperti itu ”

Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan harinya sang pemotong kayu bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 15 batang pohon. Hari ketiga dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hanya berhasil merobohkan 10 batang pohon.

Senin, 18 Maret 2013

Layang-Layang dan Harapan


Selalu Saja Ada Harapan

Layangan ( layang layang ) dimainkan dengan kepala tegak dan bukan dengan menunduk. Layang layang diterbangkan bukan dengan wajah ke arah bawah, tapi dengan menatapnya ke angkasa. Begitupun kita dalam hidup. Layang layang adalah tanda agar kita selalu percaya bahwa optimisme dimulai dengan membangun harapan, bukan dengan bersedih. Layang layang adalah pengingat buat kita bahwa semangat baru akan hadir bagi mereka yang berpikir positif.