Rabu, 28 November 2012

Kisah Pertarungan Dewa Indra dengan Asura Writra


Pertempuran antara Indra dengan para dewa melawan Writra dengan para asura berlangsung sangat seru. Para dewa tidak mempan dilukai oleh senjata asura, mereka seperti manusia baik yang tahan dan tidak terluka oleh kata-kata para manusia picik. Para dewa unggul dalam pertempuran dan para asura melarikan diri dari pertempuran. Melihat penurunan moril anak buahnya Writra berteriak dengan keras, “Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sekali kamu dilahirkan, maka kamu pasti mati. Kematian datang dengan berbagai bentuk, dan tidak dapat dihindari. Manakala masalahnya seperti itu, kematian karena membawa kebenaran dan nama baik membawa akibat yang baik di kehidupan kemudian. Keinginan banyak orang adalah mati dalam keadaan yoga, akan tetapi pada waktu kalian melarikan diri dari perang, kematian bisa mendatangi kalian selagi berada dalam keadaan memalukan dan fokus terakhir sebelam kematian adalah melarikan diri, sehingga kalian akan lahir lagi sebagai seorang pengecut. Pilihan mati dalam yoga atau mati dalam keadaan berperang tidak mungkin didapat oleh semua orang. Kalian tidak perlu takut terhadap kematian!”  Writra tidak takut mati.

Melihat para asura yang tidak memperhatikan kata-katanya, Writra kemudian maju menyerang dan berkata, “Para dewa jangan melawan para asura yang ketakutan, lawanlah aku!” dan Writra mengeluarkan raungan perkasa yang menggetarkan nyali para dewa. Indra melemparkan tongkat kebesarannya yang dapat ditangkap Writra yang kemudian digunakan untuk melukai gajah Airawata yang digunakan Indra, sehingga gajah tersebut terluka dan mundur. Melihat Indra tidak memakai senjata, maka tongkatnya pun dilepaskan. Writra berkata, “Kamu telah membunuh saudaraku, Brahmana Wiswarupa dan aku ingin membalaskan kematiannya. Wahai Indra, mengapa kamu tidak memakai senjata wajra mu. Wajra dibuat dari tulang Resi Dadhichi dan menurut instruksi dari Narayana sendiri. Aku tahu dimana saja Tuhan ada akan ada kemenangan. Apakah kau ragu dengan wajramu? Wajramu telah diberkati Tuhan, maka kau pasti akan berhasil membunuhku. Selama ini aku berpikir tentang Tuhan dan tidak ada yang lain. Jika aku dibunuh aku hanya menyerahkan tubuh penuh dosa ini. Aku tidak berduka!”

Indra dan para dewa tertegun mendengar kata-kata Writra yang nampak menguasai Brahmawidya, pengetahuan keilahian dan mempraktikkannya dengan tanpa rasa takut. Indra dan para dewa kembali mendengar ucapan Writra, “Bagiku, aku ingin menempatkan pikiranku pada Narayana, dan manakala aku dibunuh aku akan melepaskan tubuh yang hanya merupakan suatu perbudakan. Aku akan mencapai apa yang para yogi mencapainya melalui tapa mereka. Tuhan manakala mencintai para bhaktanya, Dia tidak akan memberi kekayaan dari tiga dunia kepadanya. Ia mengetahui bahwa kekayaan adalah penyebab kebencian, ketakutan dan sakit mental, keangkuhan, pertengkaran dan ketidakbahagiaan. Tuhan memberi kebebasan kepada para bhaktanya. Kesadaran seperti itu jarang dimiliki oleh seorang yang kaya.”

Dalam keadaan bertempur dan siap menghadapi kematian pun Writra tetap berbagi kesadaran kepada anak buah dan musuh-musuhnya. Writra berdoa, “Tuhan, buat aku menjadi pembantu dari pembantu-Mu. Buatlah pikiranku hanya terfokus kepada-Mu. Biarkan nyanyianku bersama suaraku hanya untuk memuji kebesaran-Mu. Biarkan tubuhku melaksanakan kehendak-Mu. Aku hanya ingin Kamu. Tidak ada sepercik keinginanku untuk menjadi Brahma atau Dhruwa. Aku tidak ingin menjadi raja di tiga dunia. Aku tidak ingin moksha. Aku tidak ingin keterampilan yoga. Tuhan aku merindukan kamu seperti anak burung merindukan induknya. Aku ditangkap dalam pusaran yang disebut kelahiran. Tolong berikan aku kebebasan. Beri aku kesempatan untuk mencintai bhakta-Mu, karena itu adalah jalan yang pasti untuk mencapai-Mu. Oleh karena selubung maya yang Kau lemparkan kepadaku, aku terikat kasih sayang dengan tubuhku, istriku, anak-anakku, rumahku dan kepemilikanku yang lain. Tolong tarik selubung ini dan bantu aku mematahkan keterikatanku pada dunia ini!”

Indra dan Writra bertempur dan salah satu tangan Writra yang memegang trisula terpotong. Dengan tangan lainnya Writra memukul dengan tongkat besinya yang membuat Gajah Airawata kaget dan wajra Indra terlepas. Malu pada dirinya, Indra tidak segera mengambil wajranya.  Writra berkata,  “Indra kenapa kamu ragu? Pungutlah wajramu!” Kemenangan dan kekalahan, Indra, sehari-hari terjadi dalam kehidupan seseorang. Orang tidak bisa menang selamanya. Semua ada di tangan Tuhan yang mengendalikan dunia. Orang bodoh tidak mengetahui kebenaran dan menganggap badan adalah akhir dan tujuan eksistensi kita. Indra, tanganku telah kau potong, akan tetapi permainan ini belum berakhir, tidak ada yang pasti, semuanya hanya merupakan spekulasi. Semua tergantung pada dawai-dawai yang digerakkan oleh Yang Maha Kuasa. Mari kita lepaskan dari hasil akhir, atau pengakuan para dewa. Mari kita menjalankan tugas kita untuk bertempur. Mari kita teruskan pertarungan.”

Indra berkata, “Aku kagum akan pada keagunganmu. Pikiranmu jauh dari hal-hal duniawi. Kamu adalah seorang siddha, kamu sudah melampaui maya yang memperdaya semua manusia. Kamu tidak mempunyai sifat asurika apa pun dalam dirimu. Kamu adalah orang satwik murni tidak seperti asura yang mengedepankan sifat rajas. Pikiranmu telah hilang di dalam Tuhan. Aku memberikan hormat pada keagunganmu.”

Mereka berperang sampai tangan lain Writra terpotong dan kemudian Indra ditelan oleh Writra. Indra dapat selamat dan berhasil membunuh Writra. Semua dewa dan asura melihat nyawa Writra melayang menuju kaki Narayana. Sebuah kisah Bhagawan Abyasa yang membuka diri manusia, bahwa spiritualitas pun dapat dimiliki oleh seorang Asura yang pada umumnya dianggap jahat oleh manusia. Spiritualitas memakai bahasa rasa terdalam dan bukan berbahasa pikiran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar